Aku di Rantau


Merasakan lelap dalam dekapan ibu terkasih selalu membuatku merasa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Menikmati belaian sayangnya selalu menghadirkan perasaan nyaman, sampai kemudian masa-masa indah itu berlalu.

Saat ini aku telah lepas jauh dari jangkauanmu, memutuskan untuk berlari jauh mengejar apa yang aku mau. Mengejar mimpi yang aku ciptakan sendiri. Kini saatnya ibu, aku benar-benar menjalani duniaku sendiri. Kehidupan baruku sekarang sangat menyedihkan ibu, jauh dari kata nyaman dan aman. Tapi aku selalu mengatakan sebaliknya, semuanya sangat menyenangkan dan sesuai harapan. Maafkan aku untuk semua dusta itu, ibu.

Aku memang bebas sekarang. Layaknya ayam, aku sekarang sudah tumbuh menjadi ayam dewasa. Aku tidak lagi ayam kecil yang selalu mengekor dan mengikuti setiap gerakmu. Saat itu aku berazzam, aku sudah dewasa, aku dapat hidup mandiri, dan kelak aku juga akan membuktikan padamu bahwa aku dapat berdiri diatas kakiku sendiri. Betapa pongahnya aku saat itu,memang sombong sekali anakmu yang satu ini, ibu.

Tapi semuanya omong kosong ibu, aku menelan pahit segala kepongahanku itu. Rasanya bahkan lebih pahit dan lebih susah ditelan dari obat yang sering aku minum. Duniaku sekarang adalah tempat yang sama sekali tidak ramah. Berjalan di bumi yang semakin tua, bertemu orang-orang dengan otak cerdas dan berpikiran maju, berkenalan dengan teknologi yang semakin canggih, seharusnya aku senang dengan semua itu. Nyatanya, semua itu justru menjadi awal segala kerumitan ini.

Hari ini berbeda dengan hari-hari saat aku masih berada dekat denganmu, ibu. Hari ini semuaseolah tengah berlomba menunjukkan wajah kejam dan bengisnya kehidupan, kehancuran sepertinya hanya soal waktu. Ataukah aku yang memang selama ini salah menyimpulkan tentang hakikat kehidupan? Entah kenapa aku kembali teringat sebuah nasyid yangpernah kau ajarkan saat aku masih kecil dulu.

Kata Umi dan Abi jannah itu sangat indah,
Banyak orang berlomba ingin masuk kedalamnya
Kata Umi dan Abi neraka itu sangat panasnya,
Tetapi orang berlomba ingin masuk kedalamnya

Ya, memang begitulah faktanya...Waktu kecil aku menyanyikannya dengan tawa bahagia, tapi sekarang aku menyanyikannya dengan penuh kegetiran, saat aku dewasa dan melihat semuanya dengan mataku sendiri. Kehidupan ini bahkan lebih liar dari hutan rimba!

Hari ini berbeda, semuanya telah berubah. Kehidupan tidak sesederhana metamorfosa ulat yang sudah pasti akan berubah menjadi kupu-kupu cantik. Sekarang aku sudah beranjak dewasa, umurku 19 tahun dan gemerlap dunia telah melambai-lambai genit menggodaku. Padahal seperti yang pernah kau nasehatkan padaku, semua itu fana.
Aku hidup berbeda dengan zamanmu ibu, zamanku adalah masa dimana segala sesuatunya serba mudah dan cepat(kemajuanteknologi mengajarkanku berpikir seperti itu), sehingga sekarang aku tumbuh menjadiorang yang tidak sabaran. Zamanku adalah masa dimana uang adalah Tuhan (matrealisme telah mengajarkanku berpikir seperti itu), sehingga sekarang aku tumbuh menjadi orang yang tamak dan mengejar dunia tak ada habisnya. Zamanku adalah masa dimana agama hanyalah pelengkap data dalam identitas, jadi persetan dengan firman Allah SWT dan nabi SAW, aku bebas melakukan apapun yang aku mau selama tidak mengganggu orang lain (Liberalisme telah mengajarkanku berpikir seperti itu), sehingga sekarang aku tumbuh menjadi orang yang mengesampingkan agama.
Mengerikan sekali ibu, kenyataannya bahkan lebih mengerikan dari itu, yang aku tuliskan diatas hanyalah secuil saja. Sekarang bagiku berjalan sendiri terasa sangat menyedihkan, padahal dulu saat-saat itulah yang aku nanti. Dewasa, berjalan sendiri, berpijak diatas kakiku sendiri, tidak ada lagi yang akan mengatur hidupku,kebebasan sepenuhnya telah aku dapat! Dulu aku mengatakan itu dengan senyum kebahagiaan dan mata berbinar penuh harapan semoga saat itu segera tiba. Sekarang, yang aku inginkan adalah seperti yang aku tuliskan pada paragraf pertama...
Merasakan lelap dalam dekapan ibu terkasih selalu membuatku merasa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Menikmati belaian sayangnya selalu menghadirkan perasaan nyaman...

Kudus, 25 Desember 2013
Tepat pukul 05:25 aku menyelesaikan tulisan ini disampingmu,
Esok aku akan kembali ke rantau, ibu. Do’akan aku selalu...

Rokok dan Sastra

Entah apa korelasi dari keduanya, yang jelas menurut saya keduanya seperti memiliki hubungan yang erat atausetidaknya itu hanya mindset saya saja, karena melihat kebanyakan teman-teman sastra yang hobi sekalimerokok. Gakkenal tempat, gak kenal waktu, ya saya sangatterganggu dengan situasi seperti itu! Jelas saja,asapnya yang mengepul  memenuhi seisi ruangan membuat saya seperti berada di ruangan penuh dengan kabut (kabut apa? Kabut rokok!). Sayap kiri beberapa orang merokok, sayap kanan beberapa orang merokok, parahnyalagi orang yang memimpin jalannya rapat dan berdiri di tengah-tegah pun juga merokok, lengkap sudah. Itu hanya contoh kecil saja ketika rapat. Belum contoh-contohkecil lainnya dalam cerita keseharian, di kelas, di depan kelas,di jalan, masih alhamdulillah karena mereka tidak merokok ketika dosen sedang mengajar, atau mungkin saya saja yang belum pernah melihat? Entahlah, tapi jelas yang paling gak lucu adalah ketika dalam sebuah acara pentas seni kamu nyanyi di atas panggung sambil menghisap rokok dengan nikmatnya, hey penonton disuruh lihat kamu menikmati rokok?
Jangan tanya berapa literkarbondioksidayang setiap hari saya hiruphanya dari asap rokok yang berasal dari teman-teman yang merokok di kampus,belum lagi asap kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Mungkin jika paru-paru saya dapat berbicara dia akan berteriak “Hey!!!! Hentikan semua ini, aku sangat terganggu!!! Aku tidak ingin bernafas lagi!!!”. Perumpamaan yang agak berlebihan memang, tapi siapa tahu kan?:DBeruntung paru-paru saya tidak dapat melakukannya,jadi imbasnya paling dada yang terasa sesak dan batuk-batuk, itu adalah pelampiasan dari paru-paru yang tidak bisa berbicara.
Entah ada hubungannya atau tidak, tapi jikamelihat anak sastra yang hobi sekali merokok sehingga tidak kenal waktu dan tempat, saya jadi benar-benar berpikir mungkin rokok memang ada kaitannya dengan sastra, atau jangan-jangan rokok sebenarnya ada bagian dari karya sastra? Saya tidak tahu pasti, tapibisa jadi. Mungkin saja bagian dari seni, seni carabaru dalam merusakdiri, seni cara baru untuk bunuh diri, siapa tahu?
Saya memang belum sempat bertanya apa yang nikmat dari merokok? Apakah sama nikmatnya seperti ketika saya mengemut sebatang permen lolipop, atau lebih nikmat dari itu? Saya tidak tahu persis, yang jelas mereka terlihat begitu sangat menikmati ketika menghisapnya. Menghisap dalam-dalam dengan mata terpejam, kemudian meghembuskannya perlahan disetai asap yangturut mengepul dari mulutya seolah semua beban turut menguap bersama kepulan asap itu. Cara mereka melakukannya memang terlihat menikmati sekali. Hey, tapi kemudian asap rokoknya dibagikan kepada kami, para penonton yang tidak tahu apa-apa. Itu sama saja setelah dia mengeluarkan semua masalah yang menjadi ganjalan dalam hatinya, kemudian dibuangkepada kami. Kami, para perokok pasif tak lebih dari sekedar tong sampah. Ya jadinya kamilah yang bermasalah sekarang, memasukkan kepulan asapyang ikut kami hirup dalam setiap detiknya.
Lalu, siapa yang mau disalahkan? Para perokok aktif berhak untuk menikmati rokoknya, tapi perokok pasif juga memiliki hak untuk menghirup udara yang bersih tanpa asap rokok. Pada akhirnya bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar, tapi tentang toleransi. Setidaknya dengan adanya toleransi semuanya akan menjadi lebih nyaman dan tidak ada perasaan saling menggerutu. Menikmati rokok dibawah pohon rindang sambil genjreng-genjreng gitar dan menyanyikan lagu-lagu kesukaan rasanya lebih menyenangkan kan bung? Hey, merokok dibawah pohon juga dapat membantu pelestarian lingkungan, kau tahu apa sebabnya? Karena pohon membutuhkan karbondioksida untuk melakukan fotosintesis, masih ingat pelajaran Biologi SMP kan?
Inti solusi di atas bukan merokoklah di bawah pohon, tapi merokoklah pada tempat dan waktu yang tepat.Di detik-detik terakhir saya menulis artiel ini, saya baru saja menarik kesimpulan bahwa rokok memang bukan bagian dari sastra, apalagi sebuah karya sastra? Ini jelas pernyataan saya yang ngawur! Tapi rokok bisa jadi salah satu faktor penunjang terciptanya sebuah karya sastra. Lho kok bisa? Bisa saja, siapa tahu ketika merokok merekamenemukan inspirasi untuk menuliskan sebuah puisiatau lagu. Siapa tahu?
Dengan menulis artikel ini bukan berarti saya membenci para perokok atau malah mendukungnya. Merokok tetap tidak baik untuk kesehatan, dan para perokok kelas berat sekalipun pasti tahu itu.Tapi pada akhirnya semua kembali pada diri masing-masing, saya percaya ketika seseorang telah mengambil sebuah pilihan berarti dia juga siap menanggung resikonya.Salam Sastra, Salam Budaya!!!
Kudus, 23 Desember 2013
Catatan efek galau akibat dua hari dua malam hujan tak kunjung reda.