Entah apa
korelasi dari keduanya, yang jelas menurut saya keduanya seperti memiliki hubungan
yang erat atausetidaknya itu hanya mindset saya saja, karena melihat kebanyakan
teman-teman sastra yang hobi sekalimerokok. Gakkenal tempat, gak kenal waktu,
ya saya sangatterganggu dengan situasi seperti itu! Jelas saja,asapnya yang
mengepul memenuhi seisi ruangan membuat
saya seperti berada di ruangan penuh dengan kabut (kabut apa? Kabut rokok!). Sayap
kiri beberapa orang merokok, sayap kanan beberapa orang merokok, parahnyalagi
orang yang memimpin jalannya rapat dan berdiri di tengah-tegah pun juga merokok,
lengkap sudah. Itu hanya contoh kecil saja ketika rapat. Belum
contoh-contohkecil lainnya dalam cerita keseharian, di kelas, di depan kelas,di
jalan, masih alhamdulillah karena mereka tidak merokok ketika dosen sedang
mengajar, atau mungkin saya saja yang belum pernah melihat? Entahlah, tapi
jelas yang paling gak lucu adalah ketika dalam sebuah acara pentas seni kamu
nyanyi di atas panggung sambil menghisap rokok dengan nikmatnya, hey penonton
disuruh lihat kamu menikmati rokok?
Jangan tanya berapa
literkarbondioksidayang setiap hari saya hiruphanya dari asap rokok yang
berasal dari teman-teman yang merokok di kampus,belum lagi asap kendaraan yang
berlalu lalang di jalan. Mungkin jika paru-paru saya dapat berbicara dia akan
berteriak “Hey!!!! Hentikan semua ini, aku sangat terganggu!!! Aku tidak ingin
bernafas lagi!!!”. Perumpamaan yang agak berlebihan memang, tapi siapa tahu
kan?:DBeruntung paru-paru saya tidak dapat melakukannya,jadi imbasnya paling
dada yang terasa sesak dan batuk-batuk, itu adalah pelampiasan dari paru-paru
yang tidak bisa berbicara.
Entah ada hubungannya
atau tidak, tapi jikamelihat anak sastra yang hobi sekali merokok sehingga
tidak kenal waktu dan tempat, saya jadi benar-benar berpikir mungkin rokok
memang ada kaitannya dengan sastra, atau jangan-jangan rokok sebenarnya ada bagian
dari karya sastra? Saya tidak tahu pasti, tapibisa jadi. Mungkin saja bagian
dari seni, seni carabaru dalam merusakdiri, seni cara baru untuk bunuh diri,
siapa tahu?
Saya memang
belum sempat bertanya apa yang nikmat dari merokok? Apakah sama nikmatnya
seperti ketika saya mengemut sebatang permen lolipop, atau lebih nikmat dari
itu? Saya tidak tahu persis, yang jelas mereka terlihat begitu sangat menikmati
ketika menghisapnya. Menghisap dalam-dalam dengan mata terpejam, kemudian
meghembuskannya perlahan disetai asap yangturut mengepul dari mulutya seolah
semua beban turut menguap bersama kepulan asap itu. Cara mereka melakukannya
memang terlihat menikmati sekali. Hey, tapi kemudian asap rokoknya dibagikan
kepada kami, para penonton yang tidak tahu apa-apa. Itu sama saja setelah dia
mengeluarkan semua masalah yang menjadi ganjalan dalam hatinya, kemudian
dibuangkepada kami. Kami, para perokok pasif tak lebih dari sekedar tong
sampah. Ya jadinya kamilah yang bermasalah sekarang, memasukkan kepulan
asapyang ikut kami hirup dalam setiap detiknya.
Lalu, siapa yang
mau disalahkan? Para perokok aktif berhak untuk menikmati rokoknya, tapi
perokok pasif juga memiliki hak untuk menghirup udara yang bersih tanpa asap
rokok. Pada akhirnya bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar, tapi
tentang toleransi. Setidaknya dengan adanya toleransi semuanya akan menjadi
lebih nyaman dan tidak ada perasaan saling menggerutu. Menikmati rokok dibawah
pohon rindang sambil genjreng-genjreng gitar dan menyanyikan lagu-lagu kesukaan
rasanya lebih menyenangkan kan bung? Hey, merokok dibawah pohon juga dapat
membantu pelestarian lingkungan, kau tahu apa sebabnya? Karena pohon
membutuhkan karbondioksida untuk melakukan fotosintesis, masih ingat pelajaran
Biologi SMP kan?
Inti solusi di
atas bukan merokoklah di bawah pohon, tapi merokoklah pada tempat dan waktu
yang tepat.Di detik-detik terakhir saya menulis artiel ini, saya baru saja
menarik kesimpulan bahwa rokok memang bukan bagian dari sastra, apalagi sebuah
karya sastra? Ini jelas pernyataan saya yang ngawur! Tapi rokok bisa jadi salah
satu faktor penunjang terciptanya sebuah karya sastra. Lho kok bisa? Bisa saja,
siapa tahu ketika merokok merekamenemukan inspirasi untuk menuliskan sebuah
puisiatau lagu. Siapa tahu?
Dengan menulis
artikel ini bukan berarti saya membenci para perokok atau malah mendukungnya.
Merokok tetap tidak baik untuk kesehatan, dan para perokok kelas berat
sekalipun pasti tahu itu.Tapi pada akhirnya semua kembali pada diri
masing-masing, saya percaya ketika seseorang telah mengambil
sebuah pilihan berarti dia juga siap menanggung resikonya.Salam Sastra, Salam
Budaya!!!
Kudus, 23
Desember 2013
Catatan efek
galau akibat dua hari dua malam hujan tak kunjung reda.
0 komentar:
Posting Komentar